Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Kejayaan
suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya
pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di
Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber
dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang
cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara
keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan
perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa
kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat
dibagi dalam tiga masa, yaitu masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
ORDE LAMA (1945 – 1965)
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan orde lama
memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Dekade 1950 sampai dengan 1965 yang dilanda oleh gejolak politik di dalam negeri dan beberapa daerah, seperti Sumatra dan Sulawesi.
- Keadaan perekonomian yang sangat buruk, waalaupun sempat memiliki lajju rata-rata 7% dan kemudian turun hingga drastis di 1,9% dan nyaris stagflasi selama 1965-1966.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (1951-1966)
Tahun
|
Indeks
(1951 = 100)
|
%
Pertumbuhan
|
Tahun
|
Indeks
|
%
Perubahan
|
1951
|
100,0
|
-
|
1960
|
146,8
|
-1,5
|
1952
|
103,8
|
3,8
|
1961
|
149,4
|
1,7
|
1953
|
126,8
|
22,1
|
1962
|
145,3
|
-2,7
|
1954
|
128,6
|
1,4
|
1963
|
141,4
|
-2,7
|
1955
|
133,4
|
3,7
|
1964
|
144,7
|
2,4
|
1956
|
136,4
|
2,2
|
1965
|
145,5
|
0,5
|
1957
|
144,4
|
5,8
|
1966
|
146,4
|
0,6
|
1958
|
152,0
|
5,3
|
|||
1959
|
149,1
|
-1,9
|
NB: 1951-1957 diukur dengan Pendapatan Nasional bruto (PNB)
1958-1966 diukur dengan Pendapatn Domestik bruto (PDB)
- Tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.
- Kegiatan di sektor industri pertanian dan sektor industri manufaktur berada pada tingkat sangat rendah, karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung.
- Tingkat inflasi yang tinggi dikarenakan rendahnya volume produksi (dari sisi suplai) sedangkan tingginya tingkat permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat.
Perkembangan Inflasi dan Jumlah Uang Beredar (1955-1966)
Tahun
|
Indeks Harga
(1954 = 100)
|
Jumlah Uang Beredar
(juta rupiah)
|
1955
|
135
|
12,20
|
1956
|
133
|
13,40
|
1957
|
206
|
18,90
|
1958
|
243
|
29,40
|
1959
|
275
|
34,90
|
1960
|
330
|
47,90
|
1961
|
644
|
67,90
|
1962
|
1.648
|
135,90
|
1963
|
3.770
|
263,40
|
1934
|
8.870
|
675,10
|
1965
|
61.400
|
2.582,00
|
1966
|
152.200
|
5.593,40
|
Sumber: Arndt (1994)
- Manajemen perekonomian moneter yang buruk, banyakya rupiah yang dicetak pada saat itu untuk membiayai perang pembebasan Irian barat, serta pertikaian dengan malaysia dan Inggris.
- Selama periode orde lama, mengalami 8 kali pergantian kabinet, yaitu:
- Aspek positif Indonesia selama masa orde lama dapat dikatakan dengan sitem ekonomi yang sangat demokratis (1950-1959), sebelum diganti menjadi demokrasi terpimpin. Namu, tercatat dalam sejarah Indonesia, bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional.
- Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih merupakan peninggalan dari masa kolonial, mulai dari sektor formal yang meliputi pertambangan, distribusi transportasi, bank, dan pertanian komersil, bahkan termasuk juga sektor informal.
- Setelah dilakukannya nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing belanda, keadaan menjadi buruk lagi dibandingkan dengan ekonomi demasa penjajahan belanda.
- Pada september 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia memuncak dengan terjadinya kudeta gagal dari partai komunis Indonesai (PKI) yang menyebabkan perubahan drastis terhadap politik dalam negeri dari sosialis ke kapitalis.
ORDE BARU (1966 – 1998)
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan orde baru memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Perhatian pemerintah lebih tertuju kepada kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan sosial-ekonomi di tanah air.
- Hubungan baik dengan pihak barat kemnbali terjalin dan menjauhi ideologhi komunis. Indonesia kembali menjadi anggota BB dan lembaga lain, seperti bank Dunia dan dana Moneter Internasional (IMF).
- Dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik, serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri dengan sasaran utama untuk menekan laju inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada orde lama.
- April 1969, repelita I dimulai dengan penekanan pembanguan sektor pertanian dan agroindustri (seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas, dan tekstil) dengan tujuan utama untuk membuat Indonesia menjadi swasembada, terutama untuk kebutuhan beras, sehingga untuk mencapai tujan tersebut pemeritah melakukan program pemghijauan (revolusi hijau) di sektor pertanian.
- Keberhasilan pembanguan ekonomi pada masa orde baru nukan hanya dikarenakan kabinet yang solid, tapi juga berkat penghasilan dari ekspor minyak.
REFORMASI (1998 – SEKARANG)
Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, maka laju pertumbuhan ekonomi diIndonesia turun drastis hingga mencapai -13,16%. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era reformasi sekitar tahun 1999-2005 mencapai rata-rata 4.15%. Dari data di atas kelihatannya ekonomi Indonesia pada tahun itu memiliki prospek membaik yaitu dengan terus meningkatnya laju pertumbuhan di masa depan. Antara tahun 1999-2005 sektor riil bertumbuh sekitar 3,33% sedangkan sector non-riil sekitar 5,1%. Pertumbuhan ekonomi yang seperti itu bisa dibilang pincang karena semestinya sector non-riil bertumbuh untuk melayani sector riil yang bertumbuh. Pada tahun-tahun sekitar tahun 2002-2005 sektor yang tinggi pertumbuhannya adalah: pengangkutan, keuangan, bangunan, dan perdagangan. Namun, pada saat yang sama tingkat pengangguran terbuka pada mulanya turun tetapi sejak tahun 2002 cenderung naik. Hal ini sangat ironis, karena pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu yang sama berada di atas 5%. Persentase orang miskin diIndonesia pun pada tahun 2005 bertambah. Hal ini disebabkan oleh sector yang bertumbuh itu adalah sekto non-riil bukan sector riil. Karena apabila sector riil tidak berkembang, maka pasar sector non-riil aka cepat jenuh. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia sejak tahun 1998 mengarah pada pertumbuhan yang tidak berkualitas. Pertumbuhan yang tidak berkualitas adalah apabila sector yang dominan pencipta pertumbuhan itu adalah bukan sector riil dan bukan sector basis. Misalnya, yang bertumbuh itu adalah sector listrik, bangunan, perdagangan, pengangkutan, keuangan, dan jasa-jasa (pemerintahan, social, perorangan), dimana kegiatan itu ditujukan untuk memnuhi kebutuhan local/dalam negeri. Dari berbagai fakta yang telah disebutkan terdahulu, laju pertumbuhan ekonomi yang terus menerus rendah sejak era reformasi, pertumbuhan yang tidak berkualitas, kondisi prasarana yang tidak memadai, rendahnya minat investor menanamkan modalnyadi sector riil, serta factor kondisi global, maka dapat disimpulkan bahwa ekonomi Indonesia telah terperangkap pada pertumbuhan rendah (Low Growth Trap). Artinya setelah ada peningkatan sekitar hingga 4-5%, maka peningkatan menjadi tersendat. Hal ini berarti ke depannya laju pertumbuhan ekonomi akan tetap rendah, tingkat pengangguran terbuka tetap tinggi, jumlah orang miskin akan tetap besar dan cenderung makin besar, mayoritas lulusan perguruan tinggi akan menjadi pengangguran atau terpaksa bekerja pada pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian sarjana, serta akan sulit untuk dapat keluar dari perangkap tersebut. Sejak era reformasi pertumbuhan ekonomi di indonesa tidak pernah lagi mencapai 6%. Dalam kondisi normal pertumbuhan itu berkisan 4-5%. Resiko dari pertumbuhan ekonomi yang rendah adalah terciptanya dikotomi dalam mendapatkan peluang ekonomi atau pendapatan. Dikotomi sendiri artinya adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Akan ada dua dikotomi yaitu dikotomi dalam kehidupan masyarakat dan dikotomi antara daerah yang banyak/masih memiliki potensi ekonomi dan daerah yang tidak lagi memiliki banyak potensi ekonomi. Dikotomi dalam kehidupan masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam kondisi investor asing da investor besar dalam negeri tidak ingin menanamkan modalnya di sector riil di Indonesia,sehingga investasi tidak meningkat secara tajam dan lapangan kerja formal tidak banyak bertambah, maka cepat atau lambat akan terjadi dikotomi dalam kehidupan atau perekonomian masyarakat. Masyarakat yang memiliki sumber daya adalah pemilik modal termaksud pemilik lahan yang memadai atau yang memiliki keahlian atau keterampilan yang keahliannya dibutuhkan pasar. Masyarakat seperti itu akan tetap terus dapat berkembang karena mereka mampu menabung/mengakumulasi modal sehingga akan terus dapat memperluas kegiatannya/sumber pendapatannya.
http://www.scribd.com/doc/91766894/Makalah-Perekonomian-Indonesia
Dumairy. 1996. Perekonomian
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
No comments:
Post a Comment